Mungkin banyak diantara Juragan yang masih ingat tentang sebuah kapal
layar yang terbuat dari kayu dan diberi nama Phinisi Nusantara. Kapal
ini memiliki nama yang melegenda dan hampir semua pelaut di tanah air
tahu nama ini. Phinisi Nusantara memang telah mencatat pelayarannya yang
bersejarah saat berhasil menyeberangi samudera Pasifik untuk menuju
Vancouver, Kanada.
Samudera yang terkenal ganas ini berhasil ditaklukan oleh sebuah
kapal yang terbuat dari kayu, Phinisi Nusantara. Meskipun pada awalnya
misi pelayaran spektakuler ini banyak diragukan orang, tapi Capt. Gita
Ardjakusuma beserta 11 orang awak kapalnya berhasil menyelesaikan tugas
ini dengan baik. Rintangan pada jalur pelayaran yang terkenal berbahaya
di Samudera Pasifik dapat diatasi dengan baik hingga Phinisi Nusantara
merapat dengan selamat di Vancouver.
Itu adalah kisah 23 tahun yang lalu. Misi
pelayaran Phinisi Nusantara dirancang guna berpartisipasi pada Expo ’86
yang diselenggarakan di Vancouver, Kanada. Keseluruhan proyek pelayaran
ini diprakarsai dan dikelola oleh Yayasan Phinisi Indonesia Raya (YPIR)
yang ketuai Laksamana TNI (Purn) Soedomo. Kapal yang memiliki panjang 37
meter dan berbobot 120 ton ini memulai pelayaran bersejarahnya pada
tanggal 9 Juli 1986.
Bertolak dari dermaga perikanan Muara baru, Jakarta Utara dengan
tujuan Vancouver. Rute pelayaran yang dilalui sungguh berat dengan ombak
yang dikabarkan hingga setinggi 7 meter. Jauh lebih tinggi dibanding
tiang listrik. Apalagi menurut Capt. Gita, mereka harus berlayar melawan
angin.
Setelah menempuh pelayaran sejauh 10.600 mil yang memakan waktu selama
68 hari akhirnya mereka dengan sukses mencapai tujuan, Vancouver.
Di pelabuhan Marine Plaza, kapal beserta awaknya banyak mendapat
sambutan dari masyarakat Vancouver. Kabarnya setiap harinya kapal ini
dikunjungi tidak kurang dari 3.000 orang pengunjung. Terlebih pada
tanggal 21 September 1986, Phinisi Nusantara didatangi 25.000
pengunjung. Kota Vancouver memang meiliki sejarah bahari yang cukup
panjang. Bagi mereka, kedatangan Phinisi Nusantara, sebuah kapal kayu
dengan reputasi internasional yang berhasil menyeberangi Samudera
Pasifik ini benar-benar mendapat perhatian yang penuh antusias.
Dikabarkan, kedatangan Phinisi Nusantara di arena Expo ’86 itu dengan
serta-merta langsung membuat stand Indonesia yang semula jarang
didatangi orang mendadak dipenuhi pengunjung.
Bahkan stand Indonesia mendapat sebuah penghargaan berupa paku rel
kereta api yang merupakan simbol peringatan 100 tahun Trans Canada yang
menjadi lambang transportasi masa lalu. Penghargaan ini hanya diberikan
kepada 3 negara peserta Expo ’86 yang dinilai paling spektakuler.
Phinisi Nusantara waktu itu benar-benar melambungkan nama Indonesia di
mata Internasional.
Di dunia internasional, perahu Phinisi baru dikenal sejak 1906 silam.
Perahu itu adalah bentuk termodern dari kapal tradisional orang
Bugis-Makassar yang telah mengalami proses evolusi panjang. Kapal itu
dibuat sebagai perahu layar dengan dua tiang dan tujuh hingga delapan
helai layar. Pada umumnya perahu ini berukuran kecil dengan daya muat
antara 20 hingga 30 ton dan panjang antara 10 hingga 15 meter. Hampir
keseluruhan pembuatan perahu dilakukan dengan teknik-teknik sederhana
dan mengunakan tenaga mesin yang sangat minim.
Sekarang Kita flashback ke awal sejarah adanya perahu phinisi
Di ujung selatan pulau Sulawesi, masyarakat setempat membangun sebuah
tradisi bahari selama ratusan tahun. Cerita-cerita tentang keperkasaan
para pelaut Bugis, Makassar, Mandar, dan Konjo telah menjadi buah bibir
hingga ke pelosok negeri nun jauh di seberang lautan. Keindahan dan
kekokohan perahunya dalam menghadapi keganasan ombak lautan, telah
melahirkan cerita-cerita kepahlawanan yang mengagumkan.
Kisah tentang perahu Phinisi dari Tanah Beru dan para pelaut dari
Bira, Kabupaten Bulukumba, yang mengemudikannya, kini sudah bukan cerita
asing lagi. Namun tak banyak yang mengetahui kehebatan para pelaut dari
ujung selatan Sulawesi ini dibangun dari tradisi panjang. Budaya itu
didasarkan pada mitos tentang penciptaan perahu pertama oleh nenek
moyang mereka.
Alkisah dalam mitologi masyarakat Tanah Beru, nenek moyang mereka
menciptakan sebuah perahu yang lebih besar untuk mengarungi lautan,
membawa barang-barang dagangan dan menangkap ikan. Saat perahu pertama
dibuat, dilayarkanlah perahu di tengah laut. Tapi sebuah musibah terjadi
di tengah jalan. Ombak dan badai menghantam perahu dan
menghancurkannya. Bagian badan perahu terdampar di Dusun Ara, layarnya
mendarat di Tanjung Bira dan isinya mendarat di Tanah Lemo.
Peristiwa itu seolah menjadi pesan simbolis bagi masyarakat Desa Ara.
Mereka harus mengalahkan lautan dengan kerjasama. Sejak kejadian itu,
orang Ara hanya mengkhususkan diri sebagai pembuat perahu. Orang bira
yang memperoleh sisa layar perahu mengkhususkan diri belajar
perbintangan dan tanda-tanda alam. Sedangkan orang Lemo-lemo adalah
pengusaha yang memodali dan menggunakan perahu tersebut. Tradisi
pembagian tugas yang telah berlangsung selama bertahun-tahun itu
akhirnya berujung pada pembuatan sebuah perahu kayu tradisional yang
disebut Phinisi.
Kini keyakinan mistis terhadap mitologi kuno itu masih kental dalam
setiap proses pembuatan Phinisi. Diawali dengan sebuah ritual kecil,
perahu Phinisi dibuat setelah melalui upacara pemotongan lunas. Upacara
itu dipimpin seorang pawang perahu yang disebut Panrita Lopi.
Berbagai sesaji menjadi syarat yang tak boleh ditinggalkan dalam
upacara ini seperti semua jajanan harus berasa manis dan seekor ayam
jago putih yang masih sehat. Jajanan menimbulkan keinginan dari pemilik
agar perahunya kelak mendatangkan keuntungan yang tinggi. Sedikit darah
dari ayam jago putih ditempelkan ke lunas perahu. Ritual itu sebagai
simbol harapan agar tak ada darah tertumpah di atas perahu yang akan
dibuat.
Kemudian, kepala tukang memotong kedua ujung lunas dan menyerahkan
kepada pemimpin pembuatan perahu. Potongan ujung lunas depan di buang ke
laut sebagai tanda agar perahu bisa menyatu dengan ombak di lautan.
Sedang potongan lunas belakang di buang ke darat untuk mengingatkan agar
sejauh perahu melaut maka dia harus kembali lagi dengan selamat ke
daratan. Pada bagian akhir, Panrita Lopi mengumandangkan doa-doa ke
hadapan Sang Pencipta.
Bagian-bagian dari kapal phinisi :
1. Anjong, segitiga di depan sebagai penyeimbang.
2. Sombala alias layar utama, berukuran besar mencapai 200 m.
3. Tanpasere layar kecil berbentuk segitiga ada di setiap tiang utama.
4. Cocoro pantara atau layar pembantu ada di depan.
5. Cocoro tangnga alias layar pembantu ada di tengah.
6. Tarengke layar pembantu di belakang.
Berkaitan dengan cerita kapal phinisi ini, pernah ada kekhawatiran
dari orang-orang di Bulukumba, Sulawesi Selatan, bahwa rancang bangun
kapal phinisi akan didaftarkan hak patennya oleh negara asing. Mengingat
sentra-sentra pembuatan perahu atau kapal phinisi yang terbesar di
dunia justru terletak diluar Indonesia. Contohnya sentra-sentra itu
malah berada di beberapa negara seperti Jepang, Australia, Malaysia dan
Brunei. Sebelumnya, Bulukumba sudah terlebih dahulu terkenal sebagai
penghasil kapal phinisi dengan kualitas terbaik.
Indonesia dewasa ini memang sedang penuh dengan hiruk pikuk
kepentingan dari banyak pihak. Hal-hal yang seharusnya diperhatikan
malah jadi diabaikan. Hal-hal yang pernah membuat negeri ini bangga,
sekarang sudah dilupakan. Padahal sebagian besar wilayah kita adalah
lautan. Tapi justru di lautan kita makin tertinggal. Seperti nasib
Phinisi Nusantara yang kini terlunta-lunta meskipun pernah mencetak
prestasi yang luar biasa. Dan mungkin sudah banyak orang Indonesia yang
tidak ingat lagi lagu “Nenek moyangku orang pelaut”.
(Sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=26…)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar